31 Oktober 2011

Pemasaran Komoditas Jeruk

by PUTRA SIAK  |  in Lingkup at  Senin, Oktober 31, 2011

1. Pendahuluan
Pemasaran jeruk dilakukan petani secara sendiri-sendiri dengan mekanisme dan sistem pembayaran yang beragam. Belum muncul suatu lembaga yang mampu memperkuat posisi tawar petani. Apalagi pada saat panen, peran pedagang lebih dominan dalam menentukan klasifikasi buah, penetapan warna dan biaya transportasi yang berakibat tingkat harga jual petani jadi lebih rendah. Dalam rangka mengatasi kondisi tersebut, telah terbentuk lembagaMasyarakat Jeruk Indonesia (MJI) komisariat Sumatera Utara. Salah satu misi yang
diembannya adalah memperkuat kemampuan dan daya saing petani jeruk dalam usahatani maupun pemasarannya.
Setidaknya ada dua cara petani dalam memasarkan produksi yaitu menjual sendiri ke pasar atau menjual kepada pedagang yang datang ke rumah/kebun. Cara pemasaran pertama, banyak dilakukan oleh petani yang memiliki tanaman kurang dari 100 pohon, lahan kurang dari 0.25 ha, atau lokasi lahan susah dijangkau kendaraan roda empat. Alasan ketidakseimbangan antara biaya panen dan angkut dibanding volume yang harus dijual mendorong petani melakukan penjualan langsung ke pasar. Pedagang pengumpul kerap keberatan jika membeli jeruk dalam jumlah sedikit di lokasi yang agak memencil. Pada cara pertama ini, tenaga untuk memetik, packing dan angkut dicari dan dibayar oleh petani sendiri. Jeruk yang dipanen, disusun ke dalam keranjang tanpa digrading terlebih dahulu (kualitas campuran). Beragam teknik penyusunan yang dilakukan petani untuk menunjukkan kualitas jeruk cukup baik menjadi perhatian pembeli dalam menyepakati tingkat harga. Kapasitas tiap keranjang bisa mencapai berat 80-120 kg.
Penjualan jeruk di pasar buah bisa langsung ke pedagang yang akan membawa dan menjual jeruk ke kota lain pedagang antar kabupaten/provinsi. Bisa juga menjualnya kepada pedagang perantara atau perkoper yaitu pedagang yang mempunyai lapak/ tenda di pasar. Jeruk ini kemudian dijual kembali kepada penggalas atau pedagang besar.Cara kedua, petani menjual produksi jeruk kepada pedagang yang mendatangi petani ke rumah atau ke kebun. Pembeli memberi penawaran harga setelah memeriksa dan memperkirakan produksi jeruk di kebun yang bisa dipanen. Setelah terjadi kesepakatan sistem dan harga antara petani sebagai penjual dengan pedagang, maka dilakukan pemanenan. Sebelum disusun ke dalam keranjang, jeruk di grading menurut klasifikasi mutu seperti kelas A atau super (4-6 buah/kg), kelas AB (8 buah/kg), kelas B (12 buah/kg), kelas C (15 buah/kg), kelas D atau unyil (20 buah/kg) dan kelas guli atau anak jeruk (24 buah/kg). Kecuali untuk kelas unyil dan guli, setiap keranjang bermuatan 60-65 kg. Jeruk yang dibeli, diklasifikasi dan di packing seperti dimaksud banyak dilakukan oleh pedagang pengumpul yang menjual/mengirim barang ke luar kabupaten bahkan keluar provinsi. Sementara kelas unyil dan guli disusun lebih dari 70 kg per keranjang untuk dipasarkan ke Pasar Rengit Brastagi atau Pasar Buah Tiga Panah. Pasar Rengit beroperasi dua kali seminggu, hari Selasa dan Minggu, sedangkan Pasar Buah Tiga Panah beroperasi setiap hari setelah pukul 14.00 Wib.
Pada kasus pemasaran kedua ini, ada dua sistem perhitungan dalam penjualan. Pertama, sistem sekop yang berarti pedagang membeli seluruh jeruk yang layak panen tanpa melihat kelas mutu. Sementara yang kedua sistem sam-sam yang berarti pedagang membeli seluruh jeruk kelas D atau unyil ke atas. Dengan kata lain, kelas unyil dan guli tidak ikut dijual. Biasanya kedua kelas ini akan dijual petani kepada perkoper di pasar buah. Kemampuan pedagang dalam memperkirakan produksi menurut volume total maupun volume antar kelas, sangat berpengaruh pada untung atau ruginya proses pemasaran. Pada sistem pemasaran di atas, umumnya tenaga kerja petik, sortir, grading, packing dan angkut, di sediakan dan dibayar oleh pedagang/pembeli. Petani yang melakukan cara pemasaran ini umumnya petani yang memiliki jeruk produktif di atas 100 pohon atau lahan lebih dari 0.25 ha. Terkait dengan tempat transaksi, data penelitian menunjukkan bahwa 75 persen responden melakukan transaksi di lokasi lahan petani, apakah di kebun atau rumah. Sisanya melakukan transaksi di lokasi pembeli, pasar buah atau tempat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cara pemasaran kedua lebih banyak terjadi di petani dibanding cara yang pertama.
Terlepas dari cara pemasaran dan tempat transaksi yang di pilih petani, sistem pembayaran terhadap produksi jeruk yang dipasarkan juga sangat beragam. Sistem dimaksud meliputi pembayaran kontan/tunai, pembayaran tunda, sistem cicil, bahkan ada yang telah membayar sebagian di depan saat sebelum panen tiba. Sistem terakhir ini bisa disebut sebagai sistem ijon semu karena hampir menyerupai sistem ijon, namun harga jual jeruk ditentukan saat panen dan menurut harga pasar yang berlaku. Jika tidak terjadi kesepakatan, petani bisa menjual jeruknya kepada pembeli lain. Biasanya petani sudah meminjam uang kepada pedagang dan sepakat untuk di potong-bayar dengan penjualan jeruk kepada pedagang bersangkutan. Sedikitnya kondisi ini menjadi perangkap pedagang dalam memegang petani untuk kepastian perolehan barang dagangan.
Mengamati sistem pembayaran yang berlaku, ditemukan bahwa sekitar 58 persen
responden memperoleh pembayaran secara tunai/kontan, 8 persen dicicil, dan sisanya dengan cara bayar tunda, bayar di depan, kontrak, dan ijon semu.
Dinamika pemasaran jeruk adalah potret pemasaran yang terjadi dalam lintasan waktu tertentu. Oleh karena itu penting untuk melihat kilas balik perjalanan perkembangan jeruk yang ada di kabupaten Karo, terutama dari aspek pemasarannya.
Pada tahap awal perkembangan jeruk di Tanah Karo, pemasaran dilakukan terbatas
untuk konsumen setempat . Artinya, 100 persen produksi dipasarkan di dalam provinsi Sumatera Utara seperti di pekan-pekan sekitar Kabanjahe, Brastagi, Pematang Siantar, Tebing Tinggi dan Kota Medan. Pada akhir tahun 70-an jaringan pemasaran mulai meluas hingga keluar provinsi seperti ke Pekan Baru, Sumatera Barat, Jambi, Palembang, hingga ke Pulau Jawa. Perluasan ini berlangsung cukup pesat bersamaan dengan populernya jeruk Pontianak. Tahun 80-an hingga 90-an, kedua jeruk ini menjadi konsumsi jeruk primadona di tanah air
Menurut data statistik, tahun 1999 jeruk Medan sempat menembus pasar ekspor ke
Singapura, Malaysia dan Thailand. Volume ekspor saat itu mencapai 419 ton. Namun tahun 2000 mengalami penurunan hingga hanya 54 ton. Tahun 2001 naik kembali menjadi 100 ton. Ekspor jeruk hanya berlangsung tiga tahun. Tahun 2002 hingga kini ekspor terhenti karena jeruk Indonesia (termasuk jeruk Medan) diklaim sebagai produksi pertanian pekat pestisida sehingga kurang aman untuk dikonsumsi. Selain itu, tampilan kulit yang kurang bersih (berkoreng) dan warna buah pucat, membuat daya jualnya di pasar ekspor menjadi lemah karena kalah bersaing dengan jeruk dari negara lain.
Satu dasawarsa terakhir pemasaran jeruk Medan ramai memasuki pasar-pasar di seluruh provinsi di Sumatera, di Jawa dan di sebagian Kalimantan. Menurut Sembiring (2005), 60 persen dari seluruh produksi jeruk Medan khususnya dari Karo dipasarkan di Pulau Jawa, terutama di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Surabaya. Sisanya dipasarkan di kota Medan sendiri dan kota-kota di Sumatera. Jeruk Medan dapat ditemukan di Pasar Induk, pasar tradisional, kaki lima bahkan hingga pasar modern seperti Ramayana, Carefour, Giant, Super Indo dll. Secara sederhana tujuan pemasaran jeruk dari Tanah Karo terdistribusi dan terredistribusi ke beberapa wilayah di Tanah Air.
Secara berjenjang pelaku pemasaran jeruk meliputi petani, pedagang pengumpul, perkoper, pedagang antar kabupaten /provinsi atau pengirim, grosir di Pasar Induk/lapak dan pengecer. Kegiatan pemasaran terpola dari hulu sampai hilir, namun pelakunya banyak yang double role. Misalnya, pedagang pengumpul merangkap pedagang pengirim, petani
merangkap pedagang pengumpul sekaligus pengirim. Atau pedagang pengumpul merangkap pengirim dan grosir. Oleh karena itu, jalur pemasaran jeruk Medan bisa digolongkan sederhana. Dalam beberapa kasus pedagang pengumpul yang langsung membeli ke petani merupakan “kaki tangan” pedagang pengirim, pedagang grosir atau toke.
Interaksi sesama petani diperkuat pengamatan terhadap kehidupan petani yang menanam jeruk terlebih dahulu, telah mendorong petani lain untuk berusahatani komoditas yang sama. Data menunjukkan perkembangan luas pertanaman jeruk yang cukup pesat dari sekitar 11 ribuan pada tahun 2001 menjadi 17 ribuan pada tahun 2005. Sebagian adalah pengembangan dari lahan yang sebelumnya belum diusahakan, dan sebagian besar adalah perubahan usahatani dari tanaman lain menjadi tanaman jeruk. Hal ini cukup mengindikasikan bahwa orientasi petani jeruk Tanah Karo sepenuhnya untuk komersial. Upaya berusahatani secara maksimal bertujuan meningkatkan produksi agar bisa dijual dan menghasilkan uang. Dari keseluruhan produksi, lebih kurang 97 persen dijual atau dipasarkan. Sisanya merupakan produksi yang dikonsumsi oleh petani dan keluarganya.
Seperti layaknya komoditi buah lain, jeruk Medan dijual dalam bentuk segar. Hingga ke tingkat konsumen buah dijual dalam bentuk yang sama. Hingga saat ini belum ada penanganan pengolahan jeruk baik untuk sirup maupun juice. Meskipun demikian, pemikiran dan upaya ke arah sana sudah ada. Memperhatikan sistem penjualan yang umum berlaku, indikator pengukuram penjualan adalah berat atau dengan cara ditimbang. Penjualan pada tingkat produsen, saat petani menjual produksinya kepada pedagang yang datang langsung ke kebun, penentuan harga terkesan memakai sistem borongan. Tetapi harga total oleh petani maupun pedagang dihitung berdasarkan berat. Pedagang sendiri melakukan penawaran harga dengan mempertimbangkan berat dan prosentase kelas mutu. Perlakuan ini terkait dengan penjualan keluar provinsi yang terbatas pada kelas C ke atas.
Pemasaran jeruk untuk hotel dan pasar modern terbatas pada kelas super (A).
Mengingat kelas ini semakin sedikit dihasilkan di Tanah Karo (teknik budidaya yang kurang baik), tidak jarang kelas AB dimasukkan sebagai kelas super, atau pembeli sendiri menerima kualifikasi kelas tersebut. Kelas AB dan B banyak dijual pengecer yang membuka kios atau stand pada pusat-pusat penjualan buah segar. Sebagian dijual pada pedagang pengecer yang merangkap grosir dalam arti penjualan dalan partai relatif besar (lebih dari 10 kg). Kelas C dan sebagian kecil kelas B banyak dipasarkan oleh pedagang pengecer di pasar, atau kaki lima.
Penjualan jeruk pada masing-masing jenis pedagang mendampingkan jeruk Tanah
Karo dengan jeruk daerah lain bahkan jeruk impor. Peluang memilih ini setidaknya mempengaruhi permintaan dan tingkat harga. Menurut konsumen, jeruk Tanah Karo relatif unggul dalam rasa tetapi kalah dalam penampilan. Sebagian besar konsumen mengaku, sebelum mencoba rasanya, cenderung memilih jeruk impor. Tetapi setelah mencoba, sulit berpaling ke jeruk lain.
Jika diamati, jeruk kelas D (unyil) dan guli sudah mulai banyak yang dipasarkan keluar provinsi. Awalnya, pengiriman terbatas untuk menambah barang dalam rangka memenuhi kapasitas truk. Pemenuhan ini penting untuk mengejar waktu/jadwal keberangkatan. Biaya pengiriman per keranjang sama dengan jeruk lainnya, tetapi kapasitas keranjang di atas 65 kg. Pedagang grosir atau bandar menjual jeruk ini kepada pedagang pengecer dengan memberi servis khusus, misalnya mengantarnya ke gudang atau kiosnya. Sistem penjualan dilakukan dengan menjajakan atau mengasong di terminal, stasiun bahkan di atas kereta api. Menurut pedagang grosir, penjualan jeruk kelas unyil dan guli hanya untuk meramaikan pasar jeruk karena hanya cukup kembali modal.
Menganalisis tataniaga jeruk untuk melihat seberapa besar bagian yang diterima petani, tidak bisa terlepas dari sikap, perilaku dan keputusan yang diambil oleh pelaku pasar lainnya, termasuk pedagang dan konsumen. Sekali lagi perlu disadari, analisis ini dilakukan terhadap data yang diteliti pada saat musim panen raya jeruk yang bersamaan dengan musim buah lain yang berperan sebagai substitusi konsumsi buah oleh konsumen. Setidaknya, rendahnya harga jeruk saat itu tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya supply dan banyaknya jeruk impor di pasar, tetapi juga dipengaruhi oleh berkurangnya permintaan terhadap jeruk akibat beralihnya sebagian permintaan buah ke komoditas mangga, rambutan, durian dan duku.
Mengamati jalur pemasaran jeruk Medan tidaklah rumit. Untuk pemasaran keluar provinsi atau ke Jawa, pelaku pasar memiliki jejaring yang membentuk rantai pemasaran tertutup. Munculnya pemain baru dalam pemasaran jeruk bersamaan dengan jaringannya secara utuh mulai dari pemasok (pengumpul dan pengirim dan pedagang grosir. Pasar terbuka lebih nyata di tingkat pedagang grosir ke pedagang pengecer dan konsumen. Memperhatikan kelembagaan pemasaran jeruk Tanah Karo maka secara sederhana rantai pemasaran bisa digambarkan sebagai berikut.









































Gambar 1
Rantai Pemasaran Jeruk di Lokasi Penelitian Kabupaten Karo, Sumatera Utara, 2005

Jika pedagang pengumpul bukan kaki tangan pengirim, pembelian dilakukan sudah dalam bentuk tersusun di keranjang tanpa diklasifikasi menurut kelas. Harga beli Rp 150 hingga Rp 300 di atas harga beli sam-sam atau sekop, atau seharga R1.350-Rp 1.500 per kg. Tambahan ini sebagai pengganti upah tenaga dan biaya material panen dan pasca panen yangsudah ditanggung petani. Kisaran harga sangat tergantung pada perkiraan persentase kelas super dan AB dalam susunan keranjang. Jeruk kemudian dijual kepada pedagang antar kabupaten/provinsi dengan menaikkan sekitar Rp 150-Rp 250 (sejajar harga yang berlaku di tingkat petani) per kg atau sekitar Rp 1.550-Rp 1.750 per kg. Transaksi sejenis lebih banyak dilakukan di pasar buah. Jarang ditemukan pedagang pengumpul yang membeli dengan sistem ini lalu menjual jeruknya ke pengirim atau pedagang grosir. Jalur kedua, petani melakukan panen dan pasca panen sendiri lalu mengangkutnya ke pasar buah untuk dijual kepada perkoper. Jeruk disusun dengan berat tiap keranjang di atas65 kg, bahkan bisa yang mencapai 120 kg. Tujuannya lebih kepada penghematan keranjang,koran,rukus dan tali. Apalagi biaya angkut biasanya dihitung per keranjang dan bukan satuan berat. Selain transportasi, petani masih harus membayar biaya timbang dan angkut/dorong dari mobil ke lapak perkoper. Biaya yang disebut terakhir sering tergantung
kesepakatan. Harga jual petani kepada perkoper bisa mencapai Rp 1450-Rp1650 per kg. Pembayaran paling umum dilakukan secara tunai.
Perkoper menjual jeruk kepada pedagang antar kabupaten/provinsi dengan cara jual
tunai seharga Rp 1.550-Rp 1750 per kg, atau melakukan jasa menjual atau sistem komisi. Besaran komisi sekitar Rp 100-Rp150 per kg (lk 7-10 persen). Jeruk yang dibeli oleh pedagang antar kabupaten/provinsi di pasar buah, langsung terdistribusi ke daerah penjualan seperti Medan, Pematang Siantar, Padang Sidempuan, Sibolga atau ke provinsi lain seperti ke Aceh, Riau, Padang, Jambi, Palembang maupun Lampung. Jeruk yang dikirim ke lokasi yang jauh akan disortir dan disusun menurut kelas mutu terlebih dahulu. Pemasaran di daerah tertentu didominasi oleh kelas mutu tertentu pula. Sementara pengiriman ke lokasi yang dekat biasanya diangkut langsung dalam bentuk susunan saat dibeli (campuran). Jalur ketiga, petani menjual jeruk kepada pengirim dengan kualitas campuran dimana biaya panen dan pasca panen merupakan tanggungan pembeli. Pengirim jeruk di Tanah Karo umumnya membuat jaringan pemasaran dengan grosir di Pulau Jawa. Jaringan ini biasanyaterbentuk dari pihak-pihak yang masih terikat dalam hubungan keluarga atau kerabat, karena dalam jaringan dibutuhkan rasa saling percaya dan ikatan moral yang kuat berkaitan dengan perputaran bisnis dan keuangan. Biaya pembelian, transport dari Tanah Karo ke Pulau Jawa dan biaya operasional penjualan di lokasi tujuan (sewa atau pembelian lapak, retribusi, kebersihan, listrik, keamanan dan tenaga) di tanggung bersama oleh pengirim dan grosir.
Keuntungan atau kerugian yang diperoleh pun menjadi tanggungan bersama.Bentuk lain adalah sistem komisioner. Grosir menanggung semua biaya dalam perolehan jeruk dari petani atau pedagang pengumpul, sementara pengirim memperoleh komisi dari satuan berat jeruk yang diperoleh dengan besaran Rp 100-Rp 250 per kg (tergantung harga beli dan jual jeruk). Sistem ini membebaskan pengirim dari segala kemungkinan/resiko kerugian akibat fluktuasi harga, kerusakan, hilang maupun tidak terjual. Total biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengirim untuk mengirim jeruk termasuk biaya ekspedisi per 5 ton jeruk dapat mencapai Rp 6.547.000 (biaya ekspedisi/ pengiriman diantaranya sebesar Rp 4.800.000), seperti terlihat pada Tabel 4.

Uraian Satuan Jumlah Harga per
satuan Nilai Keterangan
A. Perolehan jeruk
Komisi kepada calo
(jika ada)
B. Perlakuan
1. Keranjang kpst
60-65 kg
2. Koran
3. Rukus
4. Tali
5. Operasional
pedagang
6. Tenaga petik,
sortir, pack-ing
dll
Total biaya perlakuan
C. Biaya ekspedisi
TOTAL (A+B+C) Kg








Buah


Kg
Karung
Gulung

--
orang

…………




keranjang
…………. 6.000








100


40
12
1

--
5

…………




100
………… 100








6.000


2.000
6.000
45.000

100.000

50.000
……………..



48.000
…………….. 600.000








600.000


80.000
72.000
45.000

100.000

250.000
----------------
1.147.000


4.800.000
----------------
6.547.000 Biaya ini dihitung
untuk pembelian
sejumlah 6 ton dengan
kualitas campuran.
Packing yang
dihasilkan sudah
diklasifikasi da-lam
bentuk kelas mutu.
Khusus untuk kelas
unyil dan guli ikut di
packing tetapi dijual di
pasar buah .
Sumber: Data




Biaya pengiriman jeruk dari Tanah Karo ke Pulau Jawa seperti Jakarta misalnya,mengeluarkan biaya antara Rp 40.000 hingga Rp 48.000 per keranjang (sebelum kenaikan BBM). Pengiriman sampai ke Bandung membutuhkan biaya sebesar Rp 50.000 per keranjang. Menurut pihak ekspedisi, biaya ini termasuk tinggi. Penyebabnya antara lain: sebagian besar truk di pakai ke Aceh (berkaitan dengan musibah tsunami), permintaan pengiriman barang cukup banyak karena musim panen raya dan kondisi jalan cukup buruk sehingga pihak ekspedisi membutuhkan biaya ekstra menjaga kemungkinan kerusakan dan keterlambatan di jalan. Pada bulan Pebruari hingga Mei dan September hingga November biasanya pengiriman jeruk relatif sedikit.
Beberapa resiko yang ditanggung oleh ekspedisi terkait pengiriman barang gampang busuk seperti jeruk antara lain: (1) Barang diganti total jika terjadi kecelakaan dengan kerusakan barang mencapai 60 persen. Kerusakan dibawah angka tersebut disesuaikan dengan cara negoisasi; (2) Barang diganti total jika terjadi kehilangan barang selama perjalanan; (3) Keterlambatan barang tiba ditujuan lebih dari seminggu biasanya penggantian tergantung tingkat harga di pasar. Jika harga tinggi, banyak pemilik barang tidak mengklaimkarena proses penggantian memakan waktu agak lama, sedang harga terus berfluktuasi.Tetapi jika harga jual jeruk rendah, pemilik cenderung meminta ganti barang kepadaekspedisi.
Faktor lain yang menyebabkan tingginya biaya pengiriman adalah:sifat barang yang cepat busuk sehingga perlu waktu lebih cepat untuk sampai ke tujuan, jalan yang relatif rusak sehingga diperlukan biaya operasional perjalanan yang lebih tinggi, banyaknya kutipan resmi dan tidak resmi di sepanjang perjalanan (menurut penelitian BPTP Sumatera Utara, terdapat sekitar 28 kutipan resmi dan 17 kutipan tidak resmi) dan sebagainya.
Tempat kedatangan jeruk Tanah Karo dalam partai besar di Jakarta dilakukan di Penas, Jakarta Timur dan di Pasar Induk Kramat Jati. Namun ada beberapa tempat pembongkaran yang skalanya lebih kecil yakni di Cililitan, Pasar Induk Cibitung, Senen dan Pasar Induk Tanah Tinggi di Tangerang. Prilaku pemasaran dalam semua pusat kedatangan barang tidak jauh berbeda.
Pedagang grosir menerima barang berikut nota pengiriman yang dibawa oleh petugas ekspedisi. Sebelum jeruk tiba, pengirim sudah menghubungi pedagang grosir mengenai jumlah, kualitas dan harga pembelian jeruk. Komunikasi banyak dilakukan melalui telepon. Tidak jarang terjadi perbedaan penilaian mengenai kelas mutu jeruk antara pengirim dan grosir . Hal ini sangat potensial menimbulkan permasalahan terutama dalam hal pembayaran.
Penjualan jeruk oleh grosir kepada pedagang pengecer dilakukan per keranjang sesuai kelas mutu yang ditetapkan oleh penjual. Kecuali untuk penjualan ke Pasar Modern (harus sesuai dengan persyaratan yang diminta pasar tersebut), pedagang grosir tidak melakukanpembongkaran packing jeruk. Packing penjualan menggunakan packing pengiriman. Packing bentuk keranjang merupakan ciri khas Jeruk Medan di seluruh pasar pasar. Jeruk daerah lain maupun jeruk impor lebih umum dipacking dalam bentuk kotak/peti. Jeruk yang dikirim ke Jakarta (Jawa pada umumnya) adalah kelas A (super), AB, B dan C. Kelas mutu yang paling banyak adalah kelas B dan C. Jeruk yang dibongkar di Pasar Induk langsung diangkut ke lapak pedagang grosir (di Pasar Induk lebih dikenal dengan bandar). Biaya bongkar dan pikul ditanggung oleh pedagang grosir. Jeruk ini dibeli oleh pecenteng (pedagang di bawah bandar/sub bandar dan menjual barangnya kepada pengecer di pasar tradisional) dan pedagang pengecer dari berbagai tempat atau pasar disekitar Jakarta. Pecenteng umumnya mempunyai lapak di Pasar Induk, tetapi volume penjualan/assetnya lebih kecil dari bandar.
Harga jual jeruk di Pasar Induk pada waktu tertentu tidak terpatok pada range angka tertentu pula, melainkan sangat ditentukan oleh banyaknya bongkar barang pada saat itu. Harga bisa berubah dari waktu ke waktu. Harga bisa mendadak turun jika banyak truk yang membongkar barang dan akan naik tiba-tiba jika pasokan barang hanya sedikit. Harga jual kelas super mencapai Rp 6.500, kelas AB Rp 5.500, kelas B Rp 4.500 dan kelas C Rp 3.500 per kg.
Mekanisme penjualan relatif beragam, namun kasus yang paling umum adalah pembeli yang datang untuk menawar, memilih, menyaksikan penimbangan dan membayar jeruk yang akan dibeli. Pembayaran biasanya dengan cara tunai. Biaya muat angkut dan bongkar merupakan tanggung jawab pembeli. Ada juga pedagang yang menggunakan sistem nota yakni dengan dua atau tiga nota baru bayar satu. Biasanya diberikan kepada pedagang yang sudah benar-benar dikenal (langganan tetap). Semua bentuk hubungan di atas tidak memperkenankan pengembalian barang yang sudah dibeli. Pada kasus barang sudah 2-3 hari belum terjual, sementara pasokan jeruk terus bertambah, pedagang grosir/bandar menawarkan jeruk kepada pedagang-pedagang pengecer. Harga ditawarkan di bawah harga pasar dengan cara mengantar jeruk tersebut sampai ke alamat pembeli tanpa tambahan biaya antar maupun bongkar muat.

Marjin Pemasaran
Dari uraian sebelumnya, maka berikut ini pada Tabel 5, disajikan sebaran marjin pemasaran komoditas jeruk pada berbagai kelembagaan pemasaran. Rataan marjin pemasaran untuk komoditas jeruk terbesar diperoleh kelembagaan pemasaran (KP) supermarket (Rp 4.300/kg), lalu diikuti oleh KP pedagang pasar induk (Rp 1.000/kg), dan yang diraih oleh KP pedagang pengecer sebesar Rp 900/kg. Pedagang pengumpul desa dan perkoper memperolehmarjin pemasaran masing-masing sebesar Rp 150/kg dan Rp 125/kg. Dari gambaran di atas tampaknya penyebaran marjin pemasaran relatif tidak merata, tetapi lebih mengelompok pada kelembagaan pemasaran supermarket, supplier, pedagang pasar induk dan pengecer.

Kelembagaan Pemasara
Harga Jual
(Rp/kg) Marjin
Pemasaran
(Rp/kg) Farmer
share 1)
1. Petani
2. Ped. Pengumpul Desa
3. Perkoper
4. Pengirim/Grosir
5. Pedagang Antar Pulau
6. Pedagang Pasar Induk
7. Pengecer
8. Pasar Modern/Supermarket 1.200
1.500
1.650
2.500
1.750
5.000
7.000
12.000 -
150
125
300
350
1.000
900
4.300 -
80,00
72,73
48,00
68,57
24,00
17,14
10,00



Selanjutnya, bila dilihat dari segi persentase bagian harga yang diterima petani tampaknya cukup kecil terutama terhadap dengan kelembagaan pemasaran pasar modern(10%), pengecer (17,14%), dan pedagang pasar induk (24%). Dalam hal ini mengisyaratkanbahwa peningkatan harga yang diraih oleh ketiga kelembagaan pemasaran tersebut kurang dapat tertransmisikan dengan baik ke tingkat petani. Akibatnya, harga di tingkat petani rendah dan kurang memberikan insentif bagi kinerja usahatani jeruk yang lebih baik lagi.

1 komentar:

Proudly Powered by Blogger.