18 November 2011

by PUTRA SIAK  |  at  Jumat, November 18, 2011

Focus Group Discussion (FGD)

I. ASUMSI DASAR
FGD secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi yang dilakukan secara
sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah tertentu.
 Irwanto (2006: 1-2) mendefinisikan FGD sebagai suatu proses pengumpulan data dan
informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik
melalui diskusi kelompok.
Sesuai namanya, pengertian Focus Group Discussion mengandung tiga kata kunci: Diskusi,
Kelompok, dan Terfokus/Terarah (bukan bebas). Dalam FGD biasanya terdapat suatu topik
yang dibahas dan didiskusikan bersama. Prinsip-prinsip FGD di antaranya:
1. FGD adalah kelompok diskusi bukan wawancara atau obrolan. Ciri khas metode FGD yang
tidak dimiliki oleh metode riset kualitaif lainnya (wawancara mendalam atau observasi) adalah
interaksi. Hidup mati sebuah FGD terletak pada ciri ini. Tanpa interaksi sebuah FGD berubah
wujud menjadi kelompok wawancara terfokus (FGI-Focus Group Interview). Hal ini terjadi
apabila moderator cenderung selalu mengkonfirmasi setiap topik satu per satu kepada seluruh
peserta FGD. Semua peserta FGD secara bergilir diminta responnya untuk setiap topik, sehingga
tidak terjadi dinamika kelompok. Dalam FGD seorang moderatorlah yang lebih banyak diam dan
peserta FGD lebih berbicara aktif dalam merespon sebuah topik. Kondisi idealnya, Informan A
merespon topik yang dilemparkan moderator, disambar oleh informan B, disanggah oleh
informan C, diklarifikasi oleh informan A, didukung oleh informan D, disanggah oleh informan
E, dan akhirnya ditengahi oleh moderator kembali. Diskusi seperti itu sangat interaktif, hidup,
dinamis.
2. FGD adalah group bukan individu. Prinsip ini masih terkait dengan prinsip sebelumnya. Agar
terjadi dinamika kelompok, moderator harus memandang para peserta FGD sebagai suatu group,
bukan orang per orang. Selalu melemparkan topik ke ―tengah‖ bukan melulu tembak langsung ke
peserta FGD.
3. FGD adalah diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Prinsip ini melengkapi prinsip pertama di
atas. Diingatkan bahwa jangan hanya mengejar interaksi dan dinamika kelompok, kalau hanya
mengejar hal tersebut diskusi bisa berjalan ngawur. Selama diskusi berlangsung moderator harus
fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan selalu berusaha mengembalikan diskusi ke
jalurnya.
II. TOKOH PENCETUS
Focus Group Discussion awalnya dikembangkan pada 1930-an dan 40-an oleh sosiolog terkenal
Robert K. Merton sebagai wawancara terfokus untuk memastikan pendapat dari kelompok
masyarakat terhadap produk media pada masanya sebagai direktur associate Universitas Columbia Biro Penelitian Sosial Terapan (institut mengkhususkan diri dalam riset komunikasi
massa). Istilah itu sendiri diciptakan oleh psikolog dan pakar pemasaran Ernest Dichter. Ernest
Dichter adalah seorang psikolog yang berbasis di Amerika dan ahli pemasaran yang sering
dianggap sebagai bapak ―penelitian motivasi‖.
III. MANFAAT FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
Manfaat / kekuatan dari diskusi kelompok focus:
1. Fokus penelitian dan mengembangkan hipotesis penelitian yang relevan dengan
mengeksplorasi secara lebih mendalam masalah untuk diselidiki dan kemungkinan
penyebab nya.
2. Merumuskan pertanyaan yang tepat untuk lebih terstruktur, survei skala yang lebih besar.
3. Membantu memahami dan memecahkan masalah tak terduga di intervensi.
4. Mengembangkan pesan yang tepat untuk program pendidikan kesehatan dan kemudian
mengevaluasi pesan untuk kejelasan.
5. Explore topik kontroversial.
Jenis penelitian yang mendapatkan manfaat dari metode Focus Group Discussion adalah
Penelitian Kualitatif. Ciri-ciri pernelitian dengan metode Kualitatif yang sesuai dengan
pemanfaatan Focus Group Discussion, antara lain :
1. Data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka;
2. Yang menjadi instrumen penelitiannnya adalah manusia, dengan tidak ada jarak antara
peneliti dan yang diteliti sehingga akan diperoleh pemahaman dan penghayatan obyek
yang diteliti;
3. Pengunaan teori digunakan untuk membantu memahami gejala, setelah selesai meneliti
teori tersebut dapat diterima atau ditolak sama sekali, bahkan menemukan teori baru.
4. Analisis data secara induktif. Metode induktif adalah metode berpikir dengan mengambil
kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus. Metode ini digunakan untuk menarik
suatu kesimpulan terhadap hal-hal atau peristiwa-peristiwa dari data yang telah
dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, yang bisa
digeneralisasikan (ditarik kearah kesimpulan umum), maka jelas metode indukt if ini
untuk menilai fakta-fakta empiris yang ditemukan lalu dicocokan dengan teori-teori yang
ada
5. Penelitian kualitatif biasanya melakukan penelitian pada latar belakang alamiah atau pada
konteks dari suatu keutuhan suatu permasalahan.
6. Penelitian kuantitatif dapat mengunakan alat analisis statistik, tetapi tidak untuk
pengujian hipotesis tetapi biasanya hanya membantu mengambarkan gejala;
7. Dan Penelitian Kualitatif biasanya lebih mementingkan ―proses‖ dari pada ―hasil‘,
hubungan antar bagian-bagian yang diteliti jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses;
8. Desain penelitian dapat berubah atau disesuaikan berdasarkan temuan-temuan pada saat
melakukan penelitian;
FGD adalah suatu metode kualitatif. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi mendalam
pada konsep, persepsi dan gagasan untuk suatu kelompok FGD mengarahkan untuk menjadi lebih dari suatu pertanyaan-pertanyaan interaksi jawaban. FGD tidak dapat digunakan untuk
tujuan kuantitatif, misalnya tes hipotesis atau penemuan-penemuan umum untuk lingkup yang
luas, yang memerlukan penelitian-penelitian yang lebih teliti dan rumit.
IV. Prosedur atau Tahapan Mode Penelitian
Focus Group Discussion (FGD)
1.
1. Tentukan tujuan dan kebutuhan informasi dari diskusi kelompok fokus, dan
mempertimbangkan metode yang cocok.
2. Merumuskan pertanyaan
3. Identifikasi dan melatih assessor
4. Melakukan Pre-test
5. Merekrut peserta
6. Membuat peraturan
7. Membuat Jadwal
8. Perkenalan
9. Menjelaskan tujuan FGD
10. Memberikan waktu untuk berpikir
11. Pertanyaan kemudian ditujukan pada responden yang di anggap tahu dan
berkompenten walaupun tidak berkedudukan tinggi Wawancara
12. Mengatur setting
13. Diskusi dimulai dari topik yang paling ringan Hasil wawancara kemudian di
diskusikan oleh tim dalam satu grup peneliti
14. Jika sudah mendapat kesimpulan, grup tersebut mengkomunikasikan kembali
dengan responden, agar jawaban dapat dipertanggungjawabkan (keabsahan).
15. Merekam setiap kejadian
16. Menyiapkan data dan analisis
17. Membuat laporan
V . Contoh-Contoh Penelitian
1. a. Penelitian pada PT. PAL INDONESIA
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis rancangan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Sebab pemrosesan informasi dan pengolahan data dilakukan dalam suatu analisa
kualitatif dan kuantitatif. Bertujuan untuk menjawab pertanyaan berkaitan current status subyek
yang diteliti, dilakukan melalui metode survei untuk pengumpulan serta analisa datanya juga
dalam tanya jawab dengan kuesioner dan wawancara (Indriantoro dkk, 1999:27). Pendekatan yang digunakan adalah fenomenologi karena masalah penelitian ditemukan berdasarkan hasil
observasi terhadap fakta dan kejadian (Indriantoro dkk, 1999:48).
Tahapan penelitian dalam pengembangan model (model building) Remunerasi Berbasis
Kompetensi PT. PAL INDONESIA secara garis besar dilakukan dalam dua tahap :
a. Tahap pertama, lebih merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif mempunyai tujuan
verifikasi teori, meletakkan teori secara deduktif menjadi landasan pemecahan masalah
penelitian serta menggunakan instrumen dalam hal ini adalah kuesioner yang telah dibakukan
oleh IASPD. Diterapkan melalui proses assessment yang meliputi wawancara dan praktek kerja
langsung untuk mengukur tingkat kompetensi yang dimiliki tiap individu karyawan serta
menyesuaikannya dengan kondisi perusahaan. Kemudian hasil penilaian para responden tersebut
dianalisis dan menghasilkan data deskriptif berupa perbandingan kuantitas responden yang
kompeten dan belum kompeten di PT. PAL Indonesia. Dari kondisi kompetensi individu
karyawan yang terdapat pada perusahaan dan dari kebijakan perusahaan kemudian dianalisis dan
diinterpretasikan secara deduktif berupa model remunerasi berbasis kompetensi yang sesuai
dengan kondisi perusahaan.
b. Tahap kedua, penelitan lebih mencerminakan sifat kualitatif karena peneliti setelah melakukan
proses interview sebagai sarana pengumpulan data dan informasi, kemudian mendiskusikan
rangkuman aspirasi karyawan tersebut serta hasil dari tahap I dalam Focus Group
Discussion(FGD) dengan sebagian karyawan, perwakilan serikat pekerja dan pihak manajerial.
Proses Induktif ini dilakukan dengan tujuan menyusun teori melalui pengungkapan fakta yang
dalam hal ini berupa model penggajian dan aspirasi karyawan. Bagan jalannya penelitian dapat
digambarkan dalam alur penelitian sebagai berikut :
Tahap I Penelitian Kuantitatif
Paradigma deduktif
Menguji konstruksi teori Remunerasi dan Standar Kompetensi dari IASPD Mapping identifikasi
kompetensi individu karyawan dengan cara mengoperasionalisasikan konsep dalam bentuk
kuesioner yang diterapkan melalui proses assessment yang meliputi wawancara dan praktek
kerja langsung untuk mengukur tingkat kompetensi yang dimiliki tiap individu
karyawan.Melakukan reposisi kompetensi dengan cara menyesuaikan model remunerasi yang
dihasilkan dengan kebijakan perusahaan Analisis dan intepretasi deduktif
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan di PT. PAL Indonesia yang berlokasi di Ujung Surabaya
PO.BOX 1134, Surabaya. Perusahaan tersebut merupakan salah satu BUMN yang bergerak di
bidang usaha manufaktur dan telah memiliki organisasi SPSI yang telah diakui. Penelitian pada
perusahaan ini membutuhkan waktu selama enam bulan yang meliputi konsultasi, proses
assessment karyawan, pelaksanaan penelitian hingga laporan akhir penelitian.
Tahap II Penelitian Kualitatif Paradigma induktif
Identifikasi permasalahan remunerasi melalui pengumpulan informasi mengenai Aspirasi
Karyawan terhadap permasalahan penggajian di perusahaan melalui kuesioner dan Interview
yang didapat dari survey di perusahaan dan wawancaran dengan key person.
Didiskusikan melalui Focus Group Discusion(FGD) dengan para karyawan, serikat pekerja dan
pihak manajerial.Menjawab pertanyaan, Membentuk Kategori, Mencari Teori-Teori, Analisis
dan Intepretasi Induktif Menyusun Konstruksi Teori
Mengembangkan Model Remunerasi Berbasis Kompetensi yang diharapkan
Alur Penelitian Pengembangan Model Remunerasi Berbasis Kompetensi di PT. PAL Indonesia
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi untuk penelitian ini adalah seluruh karyawan tetap Kelompok Jabatan Teknisi dan
Perencana yang berjumlah 160 dimana berada pada empat divisi yaitu Divisi Kapal Niaga, Divisi
Kapal Perang, Divisi Pemeliharaan dan Perbaikan serta Divisi General Engineering. Dengan
pertimbangan untuk mendapatkan validitas data maka keseluruhan populasi dijadikan subyek
penelitian(total population sample).
JUMLAH KARYAWAN
DIVISI NIAGA, KAPAL PERANG,
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN
SERTA GENERAL ENGINEERING
PT. PAL INDONESIA
TAHUN 2002
DIVISI: Kapal, Niaga, Kapal, Perang, Pemeliharaan dan, Perbaikan, General, Engineering
BIDANG: L P L P L P L P, Teknisi 22 0 2 3 45 2 4 0, Perencana 42 11 10 0 11 4 4 ,
Administrasi/Sekretaris 48 0 37 0 7 12 3 6, Supervisor/Koordinator 9 5 19 1 21 0 6 0
Jumlah : 121 16 68 4 84 18 17 6137 72 102 23
Sumber : Departmen Sumberdaya manusia PT. PAL Indonesia(2001)
4.4. Faktor-faktor penelitian
Terdapat beberapa faktor yang diteliti dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Tingkat remunerasi berdasarkan unit standar kompetensi IASPD, meliputi tingkatan gaji yang
diperoleh dari 18 Area Bidang Keahlian yang terdiri dari 233 Unit Standar Kompetensi wajib
bagi industri manufaktur.
2. Kompetensi individu karyawan meliputi berbagai jenis keahlian yang telah dimiliki tiap
karyawan beserta tingkatan kompetensi yang tersedia di PT. PAL Indonesia.
3. Kebijakan perusahaan meliputi struktur penggajian yang telah ditetapkan pihak manajerial PT.
PAL Indonesia.
4. Aspirasi karyawan meliputi segala hal yang diusulkan karyawan yang berhubungan dengan
sistem penggajian.
5. Model Remunerasi Berbasis Kompetensi yang dikembangkan meliputi grup penggajian,
klasifikasi jabatan, syarat kompetensi yang harus dipenuhi, serta % tingkatan gaji.
4.5. Penjelasan faktor-faktor penelitian
Selanjutnya agar penelitian tidak menyimpang jauh dari tujuan penelitian, maka faktor-faktor
yang dipergunakan dalam penelitian perlu diberi penjelasan terperinci. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan halhal yang akan dianalisis. Penjelasan faktor-
faktor dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tingkat remunerasi berdasarkan unit standar kompetensi IASPD, merupakan klasifikasi jelas
mengenai tingkat remunerasi yang berhak diperoleh oleh karyawan berdasarkan standar yang
telah dibakukan oleh IASPD.
2. Kompetensi individu karyawan merupakan ragam kompetensi yang telah dimiliki oleh
masing-masing karyawan selama bekerja pada PT. PAL Indonesia. Diukur oleh para assessor
yang independen melalui proses assessment terhadap karyawan.
3. Kebijakan perusahaan merupakan segala hal yang berkaitan dengan harapan, tuntutan dan
peraturan pihak manajerial perusahaan mengenai sistem penggajian di PT. PAL Indonesia.
4. Aspirasi karyawan merupakan unsur-unsur yang berisi segala harapan karyawan khususnya
yang berkaitan dengan sistem penggajian perusahaan, dimana diperoleh melalui survey terhadap
para karyawan yang kemudian dibahas dalam FGD (Focus Group Discussion) dengan sebagian
karyawan, perwakilan serikat pekerja dan pihak manajerial perusahaan. Hasil dari diskusi
tersebut nantinya dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun sistem penggajian
di PT. PAL Indonesia.
5. Model Remunerasi Berbasis Kompetensi yang dikembangkan pada PT. PAL Indonesia
merupakan pengembangan model remunerasi yang disusun berdasarkan perpaduan model
remunerasi berbasis kompetensi yang dikeluarkan IASPD dengan kompetensi individu karyawan
serta dikombinasikan dengan tingkat kompetensi yang tersedia pada perusahaan, yang kemudian
disesuaikankan dengan kebijakan perusahaan serta aspirasi karyawan. 4.6. Instrumen Penelitian
4.6.1. Validitas Instrumen
Pada penelitian ini jenis instrumen penelitian kualitatif yang digunakan ialah kuesioner sebagai
pedoman wawancara dan diskusi untuk merangkum serangkaian jawaban karyawan mengenai
aspirasi mereka atas sistem penggajian yang telah dilaksanakan perusahaan. Sedangkan jenis
instrumen penelitian kuantitatif yang digunakan adalah kuesioner sebagai pedoman assesment
yang dibuat dengan mengacu pada Teori Kompetensi untuk perusahaan Manufaktur yang telah
dibakukan oleh IASPD. Proses penelitian dilakukan melalui penilaian para responden dengan
wawancara dan praktek langsung yang dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi lingkungan
dan tujuan penelitian. Validitas instrumen penelitian kuantitatif dihitung dengan menggunakan
bantuan program SPSS 10. Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel maka butir pertanyaan
tersebut valid (Singgih Santoso, 2000). Proses tersebut telah dilakukan oleh IASPD, dan dalam
hal ini peneliti serta perusahaan telah diberikan wewenang oleh BNSP untuk mempergunakan
instrumen yang telah teruji bagi perusahaan Metal Industri di Indonesia tersebut sebagai sarana
pelaksanaan program assessment karyawan.
4.6.2 Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan internal consistency yaitu mencobakan instrumen one
shoot (diukur sekali saja) kemudian hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik
tertentu, yaitu diukur dari koefisien korelasi, diangap reliabel bila r hitung > r tabel. Pengukuran
dilakukan dengan bantuan program komputerisasi SPSS 10. Proses tersebut telah dilakukan oleh
IASPD, dan dalam hal ini peneliti serta perusahaan telah diberikan wewenang oleh BNSP untuk
mempergunakan instrumen yang telah teruji bagi perusahaan Metal Industri di Indonesia tersebut
sebagai sarana pelaksanaan program assessment karyawan.
4.7. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
4.7.1. Jenis dan Sumber data
Prosedur pengambilan data penelitian menggunakan dua jenis data, yang dapat digolongkan
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer yang dimaksud meliputi data tentang ragam kompetensi karyawan dan sistem
penggajian yang terdapat pada perusahaan. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara dan
diskusi dengan para karyawan, perwakilan serikat pekerja dan pihak manajerial serta dari hasil
proses assessment para responden yang menjadi sampel kuesioner penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperlukan untuk melihat gambaran umum tentang perusahaan yang diperoleh
dari statistik perusahaan atau data yang sudah diolah dari bagian Departemen Sumber Daya Manusia PT. PAL Indonesia. Selain itu data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
4.7.2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Observasi dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti atau dapat
dirumuskan sebagai proses pencatatan pola perilaku subyek(orang), obyek(benda) atau kejadian
sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang
diteliti(Indriantoro, 1999:157).
b. Wawancara dan diskusi dengan para karyawan, serikat pekerja dan pihak manajerial untuk
memperoleh informasi mendalam tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sistem remunerasi
yang dilaksanakan perusahaan. Serta proses assessment yang dipandu oleh instrumen terstruktur
berupa kuesioner yang diterapkan dalam wawancara dan praktek langsung untuk menilai
kompetensi individu karyawan. Proses pelaksanaannya berlandaskan pada tujuan penelitian,
responden dinilai secara bergilir supaya tidak mengganggu aktivitas produksi pada jam kerja,
serta diskusi dilakukan dengan jadwal tertentu yang telah disesuaikan dengan kondisi
perusahaan. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti dibantu para assessor
perusahaan.
4.8. Cara Pengolahan dan Analisis Data
4.8.1. Cara Pengolahan
Pengolahan data dalam penelitian melalui serangkaian tahap sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Dilakukan dengan cara meneliti kembali data yang terkumpul dari penyebaran kuesioner.
Langkah tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul sudah cukup baik.
Pemeriksaan data atau editing dilakukan terhadap jawaban yang telah ada dalam kuesioner
dengan memperhatikan hal-hal meliputi: kelengkapan pengisian jawaban, kejelasan tulisan,
kejelasan makna jawaban, serta kesesuaian antar jawaban.
b. Pembuatan Kode (Coding)
Coding dilakukan sebagai usaha menyederhanakan data yaitu dengan memberi simbol angka
pada masing-masing kategori jawaban dari seluruh responden.
c. Tabulasi
Setelah pembuatan kode maka selanjutnya melakukan tabulasi data.
4.8.2. Analisis data Pengolahan dan analisis hasil penelitian dilakukan dengan sistem komputerisasi melalui program
SPSS 10. Analisis data secara deskriptif dilakukan dengan menguraikan kondisi kompetensi
individu karyawan, kondisi perusahaan serta aspirasi karyawan yang kamudian disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi dan prosentase berdasarkan pada hasil assessment karyawan,
kebijakan perusahaan dan harapan-harapan karyawan. Pengembangan model remunerasi berbasis
kompetensi di PT. PAL Indonesia dilakukan dengan membuat reposisi standarisasi tingkat
penggajian berdasarkan teori kompetensi dari IASPD, kompetensi individu karyawan, kebijakan
perusahaan serta aspirasi karyawan. Sedangkan model peluang pelaksanaan pengembangan
sistem remunerasi berbasis kompetensi di PT. PAL Indonesia dilakukan dengan membuat
tabulasi dan simulasi, antara hasil assessment karyawan yang berupa perbandingan kuantitas
respoden yang kompeten dan belum kompeten dengan hasil diskusi atas aspirasi karyawan yang
diasumsikan sebagai berikut :
1. Prioritas Pertama (P1) maka model itu merupakan model pengembangan yang artinya dapat
segera direalisasikan pada pada sistem penggajian periode kerja berikutnya, yaitu dengan kondisi
:
a. Apabila karyawan yang kompeten lebih banyak daripada yang belum kompeten dan semua
aspirasi karyawan terpenuhi.
b. Apabila karyawan yang kompeten lebih banyak daripada yang belum kompeten dan sebagian
dari aspirasi karyawan terpenuhi.
c. Apabila karyawan kompeten dengan yang belum kompeten seimbang tetapi semua aspirasi
karyawan terpenuhi.
2. Prioritas Kedua (P2) maka model tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi pelaksanaan
sistem penggajian untuk masa yang akan dating, yaitu dengan kondisi :
a. Apabila karyawan yang kompeten lebih banyak daripada yang belum kompeten tetapi hanya
sedikit dari aspirasi karyawan yang terpenuhi.
b. Apabila karyawan yang kompeten dengan yang belum kompeten seimbang dan sebagian dari
aspirasi karyawan terpenuhi.
c. Apabila karyawan yang belum kompeten lebih banyak daripada yang kompeten tetapi semua
aspirasi karyawan terpenuhi.
3. Prioritas Ketiga (P3) artinya model tersebut bisa ditiadakan atau pelaksanaannya perlu
pertimbangan lebih lanjut/dapat diimplementasikan berdasar kebijakan manajemen(pimpinan)
PT. PAL Indonesia. Yaitu dengan kondisi :
a. Apabila karyawan yang kompeten dan yang belum kompeten seimbang dan hanya sedikit dari
aspirasi karyawan yang terpenuhi. b. Apabila karyawan yang belum kompetem lebih banyak daripada yang kompeten dan sebagian
dari aspirasi karyawan terpenuhi.
c. Apabila karyawan yang belum kompeten lebih banyak daripada yang kompeten dan hanya
sedikit dari aspirasi karyawan yang terpenuhi.
1. b. Laporan Akhir Penelitian HAK SEKSUAL PEREMPUAN DAN HIV/AIDS:
Studi pada Perempuan Muda (15-24 tahun) di Tiga Kota di Jawa Barat Oleh: Pusat
Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI
1.1. Latar belakang
Berdasarkan laporan UNAIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan
kasus HIV/AIDS yang relatif cepat. Dari laporan tentang kasus AIDS, pada tahun 2004 hanya 16
provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS. Di tahun 2007 laporan datang dari 32 provinsi.
Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682
kasus pada tahun 2004, menjadi 11.141 kasus hingga akhir Desember 2007.1 Departemen
Kesehatan memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular HIV pada tahun 2006 sebesar
193.070 orang, dan diestimasikan sampai akhir 2007 di Indonesia terdapat 193.000 ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS)2 dengan sekitar 25% di antaranya adalah perempuan.
Berdasarkan Human Development Report (HDR) 2001 hingga HDR 2006, tingkat daya beli
(purchasing power parity atau PPP) perempuan tidak mengalami peningkatan yang signifikan,
dengan nilai berkisar pada angka US$ 2.000 setiap tahunnya. Sementara itu PPP laki-laki
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan nilai dua kali lipat lebih
dibandingkan PPP perempuan. Indikator ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender
gap) dalam PPP sangat tinggi.
Bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun 2010 jumlah
kasus AIDS diproyeksikan akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang. Pada
2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi
pada sub populasi beresiko kepada isteri atau pasangan seksualnya. Pada akhir tahun 2015
diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang
dilahirkan dari ibu yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi
ancaman serius bagi bangsa Indonesia.
Namun upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini masih terkonsentrasi pada
kelompok perilaku beresiko tinggi seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, dan pelanggan
seks. Pendekatan yang berfokus pada ―kelompok beresiko tinggi‖ juga riskan menciptakan
stereotipe kelompok yang dianggap beresiko tinggi tsb. Lebih dari itu, pendekatan ini cenderung
mengasumsikan kelompok lainnya – di luar kelompok beresiko tinggi — dalam kondisi ‗relatif
aman‘ atau ‗kurang beresiko‘. Faktanya, perempuan adalah salah satu kelompok yang rentan
―beresiko‖ terinfeksi, bukan hanya karena faktor biologis yang lebih rentan dari laki-laki.
Namun, perempuan secara sosial dan kultural juga kurang berdaya untuk mempraktikkan metode
seks yang aman dan nyaman untuk dirinya. Faktor ekonomi juga mengkondisikan kerentanan
perempuan.6 Berdasarkan berbagai penelitian, kelompok usia remaja merupakan usia yang paling rentan terinfeksi, yang kemudian dalam jangka waktu tertentu, perempuan remaja akan
menjadi ibu hamil, yang kehamilannya dapat mengancam kelangsungan hidup janin/bayi.
1.2. Masalah penelitian
Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan upaya PMTCT
(prevention mother-to-child transmission) atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Dalam PMTCT dikenal sebuah pendekatan continuum of care yang mencakup 4 prong9 yaitu:
Prong 1: pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif
Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan HIV positif
Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu seropositif kepada bayinya
Prong 4: perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi ibu HIV positif yang baru melahirkan
dan keluarganya.
Teori ‗sexual script‘ atau ‗skenario seksual‘ (Simon 1996) adalah sentral dalam penelitian ini.
Teori ini menjelaskan bahwa penting untuk membedakan antara persepsi dan perilaku yang
terkait dengan faktor situasional untuk memahami tindakan seksual. Ada tiga aspek yang harus
dicermati yaitu skenario individu (makna individual sebagai hasil interpretasi terhadap skenario
budaya), skenario antar-pribadi dan skenario budaya. Ketiga skenario ini saling berkelindan
dalam situasi dan konteks sosial tertentu yang kemudian terwujud dalam tindakan seksual. Kami
akan melihat bagaimana skenario-skenario tersebut dirumuskan dan digunakan dan bagaimana
skenario tersebut terwujud dalam perilaku atau performance dalam ruang publik dan privat.
Secara metodologis, ketertarikan pada kota menengah dan kecil ini lebih didasarkan pada
anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran
HIV/AIDS. Oleh sebab itu signifikan dibahas tentang bagaimanakah inisiatif lokal dalam
memanfaatkan sumberdaya luar maupun lokal? Hal ini menjadi pembelajaran penting untuk
diungkap dan dipahami, termasuk perspektif gender dan perempuan yang melandasinya,
utamanya menyangkut
1.3. Tujuan penelitian
1. Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hak-hak seksual
dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS
2. Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak seksual dan
resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber pengetahuannya
3. Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak seksualnya dan
mengurangi resiko seksual.
1.4. Jastifikasi Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan rekomendasi yang bersifat praktis
dan terapan dengan maksud:
1. Perlunya mengembangkan Program Pendidikan Seksualitas yang responsif gender dan
mampu memberdayakan perempuan;
2. Pengembangan program yang ―locally and culturally sensitive‖ agar remaja perempuan
dapat lebih terbuka berbicara tentang seks dan seksualitas
3. Memberikan bahan rancangan kampanye publik tentang hak-hak seksual perempuan,
1.5. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif, maka studi ini
lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya kajian ini bersifat
‗triangulasi‖ baik dari perspektif maupun metode pengumpulan data. Tim Peneliti berlatar
belakang inter-disipliner (antropolog, sosiolog, hukum). Sedangkan data akan dijaring baik
dengan metode/teknik kualitatif (wawancara mendalam/case study, diskusi kelompok terarah,
dan pengamatan/observasi), juga metode kuantitatif (survei). Data kualitatif merupakan data
utama penelitian ini, sedangkan data kuantitatif lebih merupakan data penunjang.
Pemilihan Lokasi Penelitian Studi dilakukan di Jawa Barat yang usia kawin perempuan
cenderung lebih rendah daripada wilayah lain, kecuali Jawa Timur. Jones (2001:68) menyatakan
bahwa usia saat menikah perempuan desa di Jawa Barat adalah antara 15 sampai 18 tahun pada
awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat (kurang dari 1 tahun) pada akhir
tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah pada usia muda hidup dalam lingkungan yang
patriarkal, akses terbatas kepada sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya
pengaruh dalam penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang dijodohkan dan struktur keluarga
menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. Jones, Asari dan Djuartika (1994: 395-396)
mengungkapkan laju perceraian di Jawa Barat pada pertengahan tahun 60-an adalah 59 dari 100
perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 menunjukkan seperempat dari seluruh
perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun
80-an tingkat perceraian tertinggi masih terpusat di Indramayu dan kabupaten sekitarnya (Jones
1997:100). Jones (2001) menyatakan bahwa usia nikah termuda ada pada dua kelompok populasi
yaitu Jawa Barat dan Madura di Jawa Timur. Kepatuhan yang kuat pada ajaran Islam dan
rendahnya pendidikan dianggap berkontribusi kepada fenomena nikah dini. Adapun studi
difokuskan di kota menengah, dengan anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar
asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas
kota, Kota Kecil adalah kota dengan jumlah penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa,
sedangkan Kota Sedang adalah kota dengan jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan
Kota Besar berpenduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa11. Studi dilakukan di Jawa Barat yang usia
kawin perempuan cenderung lebih rendah daripada wilayah lain, kecuali Jawa Timur. Jones
(2001:68) menyatakan bahwa usia saat menikah perempuan desa di Jawa Barat adalah antara 15
sampai 18 tahun pada awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat (kurang
dari 1 tahun) pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah pada usia muda hidup
dalam lingkungan yang patriarkal, akses terbatas kepada sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya pengaruh dalam penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang
dijodohkan dan struktur keluarga menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. Jones,
Asari dan Djuartika (1994: 395-396) mengungkapkan laju perceraian di Jawa Barat pada
pertengahan tahun 60-an adalah 59 dari 100 perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976
menunjukkan seperempat dari seluruh perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan perceraian
dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun 80-an tingkat perceraian tertinggi masih terpusat di
Indramayu dan kabupaten sekitarnya (Jones 1997:100). Jones (2001) menyatakan bahwa usia
nikah termuda ada pada dua kelompok populasi yaitu Jawa Barat dan Madura di Jawa Timur.
Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, Kota Kecil adalah kota dengan jumlah penduduk
antara 20.000 sampai 100.000 jiwa, sedangkan Kota Sedang adalah kota dengan jumlah
penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan Kota Besar berpenduduk 500.000 sampai 1 juta
jiwa11. Untuk itu dipilih secara ‘purposive’ 3 kota, yakni: Karawang, Sukabumi dan
Tasikmalaya, yang ketiganya termasuk 100 kabupaten/kota akselerasi program HIV/AIDS, dan
menunjukkan jumlah kasus AIDS yang kontras. Di masing-masing kota penentuan lokasi
penelitian didasarkan atas beberapa kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi,
adanya penduduk asli dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota.
Berdasarkan informasi dari mitra lokal, data statistik dan orientasi lapangan, maka ditentukanlah
satu kelurahan di setiap kota. Di Karawang, kelurahan Nagasari, kecamatan Karawang Barat
terpilih sebagai lokasi penelitian yang sebagian wilayahnya merupakan pusat perekonomian dan
dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang cukup padat.
Proses Pengumpulan Data Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja. Pada bulan Juli
Agustus 2009 penelitian dilakukan di Karawang, sedangkan bulan September-Oktober 2009
penelitian serentak di Sukabumi dan Tasikmalaya. Pengumpulan data di Sukabumi dan
Tasikmalaya sempat terhenti 2 hari karena terjadinya gempa yang cukup besar di wilayah
tersebut. Peneliti menyewa kamar di lingkungan RW yang menjadi lokasi penelitian di setiap
kota dan tinggal selama sebulan. Dengan demikian peneliti dapat melakukan pengamatan
langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar, terutama dengan tokoh
masyarakat dan kelompok perempuan muda sebagai sasaran penelitian. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah perempuan muda yang berusia 15 – 24 tahun, dengan memperhatikan
latar belakang pendidikan, pekerjaan dan status marital. Untuk survei, populasinya adalah
perempuan usia 15-24 tahun, baik belum menikah, menikah maupun janda; sekolah, lulus
sekolah maupun putus sekolah; bekerja dan tidak bekerja. 1) Sampel dan survei Di tingkat RW,
kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap RT. Peneliti dan asisten peneliti
mendatangi setiap ketua RT di RW terpilih untuk mendapatkan kerangka sampel. Selanjutnya
sampel ditarik secara stratifikasi non proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya
responden dipilih secara acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total
untuk responden menikah. Sampling total bagi perempuan yang menikah dilakukan karena
jumlahnya kurang dari 1/3 dari perempuan yang belum menikah di tiga wilayah penelitian (lihat
bab 2). Jumlah sampel adalah 75 responden di setiap kota. Survei merupakan langkah pertama
pengumpulan data dalam penelitian ini. Wawancara dengan kuesioner dilakukan oleh asisten
peneliti dan pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba
wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai responden.
Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5 responden. Kuesioner hasil
wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk diperiksa dan apabila ada kekurangan
atau kesalahan maka pewawancara diminta memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten peneliti dan peneliti bertemu untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan,
misalnya 14 responden yang gagal ditemui, penolakan responden untuk wawancara,
ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll. Wawancara dengan kuesioner dilakukan oleh
asisten peneliti dan pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba
wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai responden.
Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5 responden. Kuesioner hasil
wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk diperiksa dan apabila ada kekurangan
atau kesalahan maka pewawancara diminta memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten
peneliti dan peneliti bertemu untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan,
misalnya 14 responden yang gagal ditemui, penolakan responden untuk wawancara,
ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll.
2) Diskusi kelompok terarah (FGD)
Dua kelompok perempuan yaitu yang menikah/janda dan yang belum menikah menjadi peserta
FGD secara terpisah. Diskusi kelompok terarah dilakukan terhadap kedua kelompok tersebut
masing-masing dua kali. FGD pertama memfokuskan pada persepsi tentang gender, relasi
pertemanan dan relasi pacaran. Sedangkan FGD yang kedua menyoroti pendapat peserta
terhadap hak-hak seksual perempuan. Peserta FGD diidentifikasi dari responden survei
berdasarkan observasi dari pewawancara. Beberapa sebelum FGD dilakukan, surat undangan
disebarkan kepada calon peserta FGD dan kemudian dikonfirmasi oleh asisten peneliti melalui
SMS atau telpon. FGD dilakukan di ruang kelas madrasah yang ada dalam lingkungan RW
setempat. Rata-rata peserta pada setiap FGD adalah 6-8 orang.
FGD juga dilakukan terhadap satu kelompok bapak (tokoh masyarakat) dan kelompok ibu (PKK)
untuk mendapatkan informasi umum tentang konteks masyarakat setempat serta persepsi
orangtua terhadap pergaulan sosial remaja dan kaum muda.
3) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam dilakukan terhadap pada 3 perempuan muda lajang, 3 perempuan muda
menikah dan 3 perempuan janda. Namun realitas di lapangan memperlihatkan bahwa cukup sulit
mendapat informan perempuan muda yang berstatus janda, sehingga hanya dapat dilakukan
terhadap 1 atau 2 informan di setiap lokasi penelitian. Informan untuk wawancara mendalam
diupayakan perempuan muda yang tidak masuk dalam sampel survei. Namun apabila ditemukan
kasus unik dari responden survei – misalnya menikah usia dini atau pernah mengalami kekerasan
atau hamil sebelum menikah – maka dipilih menjadi informan penelitian.
Manajemen dan analisis data
1) Data kuantitatif
Kuesioner yang telah terisi secara benar selanjutnya diberikan kepada operator data entry untuk
diolah dengan SPSS versi 15.0. Sebelum data dimasukkan ke komputer, semua kuesioner
difotokopi demi keamanan penyimpanan data. Selesai pemasukan data, kemudian dilakukan
cleaning data berdasarkan tabel frekuensi dari 15 2) Data kualitatif
Seluruh rekaman wawancara mendalam dan FGD disimpan ke dalam komputer dan dipisahkan
berdasarkan lokasi penelitian. Transkripsi wawancara mendalam dan FGD dilakukan secara
verbatim meskipun terkadang terdapat kesulitan apabila informan berbicara atau menggunakan
bahasa Sunda di tengah wawancara atau FGD. Kesulitan juga terjadi kalau suara informan
terdistorsi oleh suara-suara lain seperti suara kendaraan bermotor, suara anak menangis dll.
Selanjutnya peneliti membuat matriks untuk melakukan perbandingan antar kasus, khususnya
antara perempuan yang belum menikah dan yang menikah, berdasarkan sejumlah tema tertentu
yang muncul dari wawancara mendalam dan FGD. Analisis hasil wawancara mendalam dan
FGD juga didukung dengan catatan lapangan peneliti ketika melakukan wawancara, termasuk di
dalamnya observasi peneliti terhadap proses wawancara.
Dalam rangka verifikasi data, hasil sementara penelitian ini telah dipresentasikan di hadapan
sejumlah instansi terkait di wilayah penelitian. Tujuannya adalah mendapatkan masukan
terhadap hasil penelitian agar dapat memperkaya penulisan laporan akhir dan rekomendasi. Di
tiga kota tersebut beberapa instansi yang hadir adalah KPAD, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan Nasional, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Bidang Kesra
Pemerintah Daerah, pihak kelurahan setempat, dan LSM yang bergerak dalam HIV/AIDS dan
isu perempuan.
Etika Penelitian
Dalam konteks masyarakat Indonesia pada umumnya, isu hak seksual masih merupakan hal yang
tabu dan sensitif, bahkan dikonotasikan sebagai gagasan yang radikal. Ini merupakan tantangan
baik secara substansial maupun metodologis. Oleh sebab itu, pendekatan ke komunitas lebih
mengusung isu kesehatan masyarakat, khususnya menyangkut kesehatan reproduksi remaja
perempuan. Kemasan ini lebih mudah diterima dan lebih mudah mendapatkan ijin penelitian.
Berkenaan dengan kesensitifan topik penelitian, maka adanya ‗informed consent‘ dari sumber
data menjadi prioritas.
7 . Kritik-Kritik atas Kelemahan yang Ditemui dari Penelitian FGD
1. Jawaban dari responden tidak dapat mewakili seluruh responden. Hanya mewakili
pendapat diri sendiri (subjektif) tergantung dengan pengetahuan responden.
2. Semua orang (yang dianggap oleh peneliti tahu) dapat di jadikan responden, sehingga
jawaban yang keluar belum tentu benar sehingga harus di re-check.
3. Antara tim peneliti dan responden harus selalu berhubungan, untuk re-check.
4. Tim Peneliti selalu berdiskusi untuk menemukan kesimpulan yang paling tepat, sangat
memerlukan kekompakan tim.
5. FGD tidak dapat digunakan untuk tujuan kuantitatif, misalnya tes hipotesis atau
penemuan-penemuan umum untuk lingkup yang luas, yang memerlukan penelitian-
penelitian yang lebih teliti dan rumit.
6. Dalam permasalahan sebuah topic yang sangat sensitive anggota kelompok dapat ragu-
ragu dalam mengungkapkan perasaanya dan pengalamannya secara bebas SUMBER : http://www.hmj-ilmukomunikasiunila.web.id/home/?p=140

0 komentar:

Proudly Powered by Blogger.